Kalau dipikir ulang, saya heran juga mengapa di dalam buku terakhir saya tentang Sababun Nuzul Makro (2015), saya begitu percaya diri memprediksi bahwa tafsir kontekstualis akan meriah atau bahkan merajai diskursus tafsir al-Qur’an kontemporer, khususnya di Indonesia. Saat itu, selain karena saya harus menunjukkan optimisme dan mempertahankan ide-ide yang saya usung dalam naskah akademis di tingkat Magister, saya agaknya sudah terpukau dan bahkan terpengaruh dengan “cantik” dan “gagah”nya bangunan tafsir kontekstualis yang ditawarkan para pemikir seperti Fazlurrahman, Mohammad Arkoun, Muhammad Shahrur, Abu Zaid, Amina Wadud dan Khalid Abu al-Fadl.




