Perang Metodologis dan Masa Depan Tafsir Kontekstual
Mu’ammar Zayn Qadafy
PhD Candidate in Islamic
Albert-Ludwig University, Freiburg, Germany
Ramalan di penghujung 2015
Kalau dipikir ulang, saya heran juga mengapa di dalam buku terakhir saya tentang Sababun Nuzul Makro (2015), saya begitu percaya diri memprediksi bahwa tafsir kontekstualis akan meriah atau bahkan merajai diskursus tafsir al-Qur’an kontemporer, khususnya di Indonesia. Saat itu, selain karena saya harus menunjukkan optimisme dan mempertahankan ide-ide yang saya usung dalam naskah akademis di tingkat Magister, saya agaknya sudah terpukau dan bahkan terpengaruh dengan “cantik” dan “gagah”nya bangunan tafsir kontekstualis yang ditawarkan para pemikir seperti Fazlurrahman, Mohammad Arkoun, Muhammad Shahrur, Abu Zaid, Amina Wadud dan Khalid Abu al-Fadl.
Melihat sekilas “perang wacana tafsir” beberapa waktu terakhir, saya mulai meyakini bahwa ramalan tersebut sebentar lagi akan menjadi kenyataan. Belum hilang ingatan kita tentang polemik kaum tekstualis dan kontekstualis mengenai makna kata wali dalam surat al-Ma’idah, muncul fenomena “Afi dan Islam Warisan” dengan berbagai silang pendapat tentangnya, yang juga adalah bentuk lain dari kontestasi pemahaman agama secara tekstual dan kontekstual. Agaknya sebelum diterima luas, harus ada fase di mana tafsir kontekstualis akan ditantang, didebat, dikritik, dan diserang habis-habisan. Jadi jangan heran, jika beberapa waktu ke depan akan bermunculan kasus-kasus serupa, meski dalam spektrum dan skala yang berbeda.
Indikasi kedua dari mulai “ramai”-nya tafsir kontekstualis adalah fakta yang cukup menggembirakan bagi saya ketika melihat pertarungan wacana epistemologi tafsir ini tidak hanya terjadi di level elit saja (baca: akademisi, birokrat dan pemuka agama), tetapi sudah bisa dinikmati gaungnya oleh bahkan orang awam sekalipun. Jika ada yang menyayangkan gerakan massa yang beberapa saat lalu terlihat begitu mudah diprovokasi dan diperalat, atau ada yang merasa “risih” dengan gemuruh media sosial yang seringkali menjadi wahana debat kusir, saya justru melihat sebaliknya. Partisipasi kelompok awam dalam dua kasus yang saya sebut di atas menjadi sangat penting sebagai penyeimbang kelompok elit di satu sisi, dan sebagai penegas bahwa tafsir ala “lay people” itu ada.
Kaidah pertama: Dua epistemologi berbeda tidak mungkin disatukan
Begitulah realitanya. Karena berangkat dari asumsi-asumsi dasar yang berseberangan, selamanya tidak akan pernah ada kesepakatan antara orang atau kelompok tekstualis dengan kelompok rivalnya. Ini karena dua epistemologi tersebut berada pada level yang berbeda, jika kita merujuk pada klasifikasi empat tahapan interaksi seorang muslim dengan al-Qur’an sebagai teks suci yang digagas oleh Abdullah Saeed.
Pada tahapan pertama, seseorang bersentuhan langsung dengan teks agama dalam praktik kehidupan sehari-hari tanpa memperdulikan makna teks berbahasa asing tersebut. Barulah pada level kedua, pengetahuan kebahasaan standar diberlakukan. Sampai di sini proses tafsir tekstualis berhenti. Sebaliknya, mufassir di tahapan ketiga melanjutkan bacaan terhadap teks agama dengan mencoba mengungkap bagaimana teks tersebut dipahami oleh pembaca pertamanya. Barulah pada level ke-empat, hasil pembacaan itu disarikan lalu dilihat kecocokannya dengan kondisi saat ini untuk memilah-milah bagian mana dari teks tersebut yang bisa diaplikasikan. Idealnya, pada level keempat inilah, metodologi tafsir kontekstualis berada.
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana cara mempersatukan tafsir tekstualis dengan kontekstualis. Pada tataran metode, mendamaikan kedua kubu adalah misi yang tidak mungkin terlaksana. Hampir tidak ada bagian dari keduanya yang saling beririsan. Ketika yang pertama mengatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab hukum dan dogma, yang kedua memposisikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk yang sarat dengan nilai universal. Ketika yang pertama meyakini bahwa makna teks al-Qur’an itu statis dan cukup dipahami dengan perangkat linguistik, yang kedua justru memahami bahwa makna teks al-Qur’an itu dinamis sehingga untuk memahaminya dibutuhkan perangkat lain seperti sejarah dan ilmu sosial. Lagi, ketika yang pertama fokus hanya kepada teks sebagai sasaran tembak, yang kedua menyibukkan diri dengan menembak juga konteks al-Qur’an dan konteks umat Islam masa sekarang.
Barangkali memang Cak Nun benar, tidak usah berusaha menunjukkan “kebenaran” yang kita yakini, apalagi memaksakan orang lain untuk menerima “kebenaran” tersebut. Cukuplah kita menunjukkan “kebaikan” serta “keindahan” yang karenanya orang lain merasa aman dan nyaman. Siapapun yang ingin misalnya mempertemukan kelompok tekstualis dan kontekstualis dalam sebuah forum, apakah itu forum kajian di kampus, acara debat media massa, atau bahkan kajian rutin pengajian malam jum’at, jika motivasinya adalah untuk menyatukan, atau lebih tepatnya memaksa salah satu kelompok untuk merubah jalan pemikiran tafsirnya, maka forum tersebut menurut saya tidak berguna, at all.
Jalan tengahnya menurut saya adalah membiarkan kedua kelompok tersebut menunjukkan cara kerja tafsirnya, lalu biarkan masyarakat sendiri yang memilih untuk berepistemologi layaknya seorang tekstualis atau kontekstualis.
Kaidah kedua: saudara tua vs saudara muda
Gambaran tentang perbedaan “tahapan” epistemologis di atas tidak seharusnya dipahami sebagai sebuah klasifikasi yang gradual. Meski saya pribadi cenderung kepada tafsir kontekstualis, tapi bukan berarti bahwa setiap tafsir -kalau mau disebut sempurna- harus sampai pada tahapan keempat. Pointnya adalah, berhenti pada level kedua atau bahkan pertama adalah pilihan yang bisa dipertanggung jawabkan juga secara logis atau bahkan akademis.
Jika demikian, pertarungan wacana yang sedang kita hadapi saat ini bukanlah pertarungan antara anak kecil dengan orang dewasa, di mana yang kedua selalu lebih matang dari yang pertama. Ini adalah pertarungan antara saudara tua dan saudara muda. Keduanya setara, hanya saja yang pertama lebih dahulu dikenal dari yang kedua.
Pemahaman sederhana ini menurut saya penting, karena sentimen-sentimen antara kelompok tekstualis dan kontekstualis seringkali tumbuh subur ketika salah satu golongan menganggap dirinya lebih matang dari yang lain. Di saat yang sama, sang rival mengangap bahwa pendekatan keagamaannya lebih fresh dan “segar”[O1] . Melabeli tafsir tekstualis dengan tradisional dan tafsir kontekstualis dengan modernis juga menimbulkan polemik karena mengesankan seolah-olah yang kedua lebih visioner daripada yang pertama. Di saat yang sama, melabeli tafsir kontekstualis sebagai “barang impor” dari Barat sementara tafsir tekstualis adalah indigenous, asli dari Timur juga tidak membantu, karena batasan antara metode tafsir yang baik dan buruk tidak lagi bisa ditentukan hanya berdasarkan dari mana metode tersebut terinspirasi.
Pada akhirnya, di luar hiruk-pikuk politik di Indonesia, menurut kacamata tafsir, kekalahan “Ahok” adalah kemenangan tafsir tekstualis. Pun demikian, saya masih yakin dengan ramalan saya, bahwa pada saatnya nanti, tafsir kontekstualislah yang akan lebih banyak diminati. Wallahu A’lam