Diambil dari kitab al-Qaul al-Mufid fi Talkhish ‘Ilmi al-Aqaid
Bersama Ustaz Muhammad Nuruddin, di Bremen - 4 Juli 2025
Ta’alluq (Keterkaitan terhadap Objek) dari Sifat Qudrah dan Irādah
Sifat Qudrah dan Irādah Allah ini hanya berkaitan dengan hal yang mungkin. Sebab telah dipahami bahwa kuasa-Nya untuk mengadakan dan meniadakan, maka pengadaan dan peniadaan ini hanya berkaitan dengan hal yang mungkin (bisa jadi ada, bisa jadi tiada), sebab objek yang dijadikan ada atau dijadikan tiada haruslah objek yang boleh menjadi ada atau tiada, bukan objek yang wajib ada atau mustahil ada secara akal. Sebab hal yang wajib itu pasti ada dengan dirinya sendiri, dan yang mustahil itu pasti tidak ada sama sekali, sedangkan yang mungkin itu boleh jadi ada dan boleh jadi tidak ada. Begitu pula dengan sifat kehendak-Nya, hanya terkait dengan objek yang boleh untuk dikhususkan dari potensi segala yang mungkin, bukan objek yang secara akal wajib atau mustahil ada dengan kekhususan tertentu. Perhatikan contoh di bawah.
Kalau ada pertanyaan, seperti, “Apakah Allah bisa menciptakan angka 2 yang lebih besar dari angka 4?” (padahal mustahil angka 2 lebih besar dari angka 4 secara akal), “Apakah Allah bisa menciptakan sesuatu yang serupa dengan diri-Nya?” (padahal sesuatu yang diciptakan dari ketiadaan tidak akan mungkin serupa dengan diri-Nya, sedangkan Dia tidak diciptakan dari ketiadaan), “Bisakah Allah menciptakan batu begitu besar, sehingga Dia sendiri tidak mampu mengangkatnya?” (padahal kuasa-Nya tidak bisa dibatasi dengan adanya batu , dan mustahil menjadikan Tuhan maha kuasa sekaligus tidak kuasa), maka dapat dipahami pertanyaan ini mengandung hal yang mustahil atau bersifat paradoks, dan bukan lagi berkaitan dengan hal yang mungkin secara akal. Oleh sebab itu, pertanyaan ini dinilai aneh, dan hal ini bukan berarti membatasi Kuasa dan Kehendak Allah. Adapun pertanyaan seperti “Bisakah Allah membuat api tidak membakar?”, merupakan pertanyaan yang valid, sebab api yang membakar maupun tidak membakar adalah hal yang mungkin secara akal (tidak ada kontradiksi atau paradoks), meskipun api itu bersifat membakar secara kebiasaannya.
Maka dapat disimpulkan bahwa kuasa dan kehendak Allah ini hanya berkaitan dengan hal yang mungkin, bukan hal yang wajib atau mustahil secara akal. Sebab hal yang wajib itu pasti ada dengan dirinya sendiri, dan yang mustahil itu pasti tidak ada sama sekali, sedangkan yang mungkin itu boleh jadi ada dan boleh jadi tidak ada.
Sifat al-‘Ilm (Pengetahuan)
Sifat al-‘Ilm (pengetahuan) maknanya sifat yang qadīm yang berada pada Dzat Allah yang tersingkap dengannya sesuatu yang diketahui dari yang wajib, yang mungkin, dan yang mustahil. Dan tetapnya sifat pengetahuan itu jelas, karena seandainya Allah tidak mengetahui, maka Dia disifati dengan kebalikannya, yaitu ketidaktahuan, dan tidak masuk akal Sang Pencipta disifati dengan kekurangan ini. Dan al-Qur’an menetapkan pengetahuan Allah dalam banyak ayat, di antaranya firman Allah: “Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Aḥzāb: 40)
Mengetahui maknanya menyingkap segala sesuatu, sehingga tampak dalam pengetahuan, bukan mengadakan maupun meniadakan. Pengetahuan Allah ﷻ tidak ada awalnya, artinya Allah ﷻ tahu bukan sebelumnya didahului tidak tahu, melainkan selalu tahu segala sesuatu, karena pengetahuannya bersifat qadīm. Adapun pengetahuan manusia dapat bertambah setelah tersingkap sesuatu di hadapannya, atau setelah ada proses belajar.
Ta’alluq (keterkaitan) sifat pengetahuan Allah ﷻ berkaitan bukan hanya yang mungkin, melainkan juga yang wajib dan yang mustahil. Karena Allah ﷻ tahu bahwa sesuatu yang wajib itu wajib, dan yang mustahil itu mustahil.
Tentang Takdir dan Pengetahuan Allah ﷻ
Allah ﷻ menakdirkan sesuatu bukan artinya Allah ﷻ memaksa, melainkan Dia telah mengetahui apa yang akan terjadi. Qaḍa itu artinya pengetahuan Allah ﷻ tentang apa yang terjadi. Allah ﷻ tahu sebelum segala semuanya terjadi. Qadar artinya terwujudnya sesuatu sesuai dengan pengetahuan Allah ﷻ. Jadi, takdir itu tidak mengandung unsur pemaksaan terhadap makhluk, melainkan bahwa Allah ﷻ telah menyingkap dan menetapkan segala-galanya, sedangkan kita tidak pernah tahu isinya. Di kehidupan sehari-hari, kita diberi kebebasan untuk memilih, berpikir, mengindra, belajar, dan sebagainya. Setelah sesuatu terjadi, baru lah kita tahu bahwa yang terjadi itu lah takdir Allah ﷻ.
Sifat al-Ḥayāt (Kehidupan)
Sifat al-Ḥayāt (kehidupan) artinya sifat Allah ﷻ yang qadīm yang berada pada Dzat Allah ﷻ yang dengannya Allah sah bersifat dengan sifat kekuasaan (qudrah), kehendak (irādah), pengetahuan (‘ilm), dan selainnya dari sifat-sifat ma’ānī. Dalilnya firman Allah ﷻ : “Allah, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).” (QS. Al-Baqarah: 255)
Sifat kuasa, kehendak, pengetahuan, pendengaran, penglihatan, pembicaraan tidak mungkin ada kalau tidak ada sifat kehidupan. Maka sifat kehidupan ini menjadi asas dari terdapatnya sifat-sifat ma’ānī yang lain.
Sifat as-Sam’ (Pendengaran)
Sifat pendengaran maknanya sifat yang qadīm yang berada pada Dzat Allah ﷻ , yang dengannya Dia menyingkap seluruh bentuk suara yang ada dengan ketersingkapan yang sempurna, tetapi ketersingkapan ini berbeda dengan ketersingkapannya sifat ‘ilm. Allah ﷻ mendengar semua suara yang ada tanpa bergantung pada alat (pendengaran), karena pendengaran dengan alat berkonsekuensi pada kebutuhan (kepada alat itu), sedangkan Tuhan itu tidak mungkin berkebutuhan, kalau tidak demikian, maka Dia sama dengan makhluk, dan itu mustahil berdasarkan pembahasan yang telah lewat.
Allah ﷻ mendengar, melihat dan berbicara dengan cara yang secara absolut berbeda dengan makhluk. Allah ﷻ mendengar secara sempurna, tidak bergantung pada jarak jangkauan, intensitas suara, dll. Pendengaran menyingkap sesuatu berbeda dengan pengetahuan. Pada manusia, kita bisa membedakan apa yang didengar dengan apa yang diketahui. Semua yang Allah dengar dan lihat, sudah pasti Allah ketahui. Namun sifat mendengar dan melihat ditekankan lagi untuk memperjelas sifat kesempurnaan bagi Allah ﷻ, yang tidak punya kecacatan.
Sifat al-Baṣar (Penglihatan)
Sifat penglihatan maknanya sifat yang qadīm yang berada pada Dzat Allah ﷻ yang dengannya tersingkap bagi-Nya seluruh jenis hal yang tersaksikan (yang ada), dan ini bukan dengan indra juga bukan anggota tubuh, seperti penglihatannya makhluk, karena Dia tersucikan dari kebutuhan. Dan banyak ayat dalam al-Qur’an telah membuktikan keberadaan kedua sifat as-sam’ dan al-baṣar, di antaranya: “Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisā`:134)
Penglihatan Allah ﷻ sebagaimana juga pendengarannya, berkaitan dengan sesuatu yang ada, bukan yang tidak ada.
Sifat al-Kalām (Firman)
Sifat al-Kalām maknanya sifat yang qadīm yang berada pada Dzat Allah ﷻ , yang berkaitan dengan apa yang menjadi keterkaitan sifat al-‘Ilm (yakni yang wajib, mustahil dan mungkin), yaitu keterkaitan sebagai penunjuk. Allah ﷻ berbicara tentang diri-Nya, dan tentang selain diri-Nya dengan kalām nafsī yang qadīm, dan kalām nafsī itu ditunjukkan oleh kalam lafẓi-Nya yang hādiṡ. Dan adapun kalām nafsī-Nya itu tidak berupa huruf, tidak berupa suara, dan tidak menyerupai perkataan makhluk.
Dan dalilnya firman Allah: “Ada beberapa rasul yang telah Kami ceritakan (kisah) tentang mereka kepadamu sebelumnya dan ada (pula) beberapa rasul (lain) yang tidak Kami ceritakan (kisah) tentang mereka kepadamu. Allah telah benar-benar berbicara kepada Musa (secara langsung).” (QS. An-Nisā`: 164)
Sebagian orang menyangka bahwa Allah ﷻ berbicara dengan suara dan huruf seperti halnya makhluk, namun ini tidak sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jamā’ah. Sifat kalām (berbicara) Allah ﷻ adalah sifat yang qadīm dan tidak menyerupai ucapan makhluk. Allah tidak berbicara dengan suara, huruf, atau dalam susunan bahasa tertentu, karena semua itu memerlukan alat, terjadi dalam waktu, dan merupakan ciri makhluk. Allah ﷻ berbicara dengan cara yang layak bagi Dzat-Nya, dan kita tidak tahu bagaimana pembicaraan ini.
Dalam istilah ilmu kalām, kalām Allah ﷻ terbagi dalam dua pengertian: kalām nafsī dan kalām lafẓī.
- Kalām nafsī adalah sifat qadīm yang ada pada Dzat Allah ﷻ, tidak tersusun dari suara atau huruf, tidak berubah, dan tidak bergantung pada bahasa.
- Adapun kalām lafẓī adalah ungkapan atau bentuk penyampaian kalām nafsī dalam bentuk lafaz dan bahasa yang bisa dipahami manusia, seperti al-Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad ﷺ, Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa, atau suhuf yang diwahyukan kepada Nabi Ibrahim, dan kepada orang-orang pilihan-Nya ‘alaihimussalām.
Analoginya kalam nafsi adalah ketika seseorang berbicara dalam pikirannya, di mana pembicaraannya luas, tidak terstruktur, dan kalam lafzi adalah kalam nafsi yang telah disusun dan disesuaikan dengan pemahaman lawan bicara. Walaupun tetap perlu diingat bahwa analogi ini sekedar penyederhanaan saja, sedangkan Allah sangat berbeda dengan makhluk, dan hakikatnya tidak terjangkau.
Maka, al-Qur’an yang kita baca dan dengar itu merupakan kalām lafẓī, dari sisi susunan, huruf, lafaz dan suara, tetapi ia menunjuk kepada makna kalām nafsī Allah ﷻ yang qadīm. Dengan demikian, al-Qur’an yang kita pahami dan baca bukanlah kalām Allah ﷻ yang bersifat qadīm, melainkan lafaz yang Allah ciptakan dan susunkan – dalam bahasa Arab, yang diwahyukan kepada Rasulullah ﷺ melalui Malaikat Jibril ‘alaihissalām, kemudian disampaikan melalui lisan Rasulullah ﷺ kepada para Sahabat, dan diriwayatkan secara mutawātir melalui hafalan dan pengajaran antara guru-murid dari berbagai jalur pengajaran yang masif dari generasi ke generasi, hingga sampai kepada kita dalam keadaan utuh dan terjaga dari perubahan – sebagai petunjuk (dalālah) bagi kalām -Nya yang qadīm.
Sifat al-Ma’nawiyyah
Di sini selesai pembahasan sifat al-ma’ānī, adapun sifat al-ma’nawiyyah itu bukan sifat tambahan, melainkan merupakan semacam penguatan atas tetapnya sifat al-ma’ānī bagi Dzat Allah ﷻ .
Sifat al-ma’nawiyyah ini merupakan penegasan sebagai konsekuensi lazim dari sifat ma’ānī. Yaitu bahwa Allah Maha Kuasa, Maha Berkehendak, Maha Mengetahui, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Berbicara.
Sifat Mustaḥīl bagi Allah ﷻ
Selayaknya bagi setiap muslim meyakini kebatilan lawan dari sifat-sifat sebelumnya, contohnya seperti ketiadaan, kebermulaan, keberakhiran, keberadaannya sama dengan makhluk, keberadaannya butuh kepada Dzat dan mukhaṣṣiṣ, keberadaannya berbilang, lemah, terpaksa, tidak tahu, mati, tuli, buta, dan bisu.
Masing-masing dari sifat 20 yang wajib punya lawannya, yaitu sifat yang mustahil, yang juga harus diyakini oleh setiap muslim.
Sifat Jāìz bagi Allah ﷻ
Dan tersisa sifat al-Jaiz bagi Allah ﷻ , yaitu melakukan sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya, maknanya bahwa mungkin (bukan wajib) bagi Allah ﷻ mengadakan sesuatu dari makhluknya atau meniadakannya. Dan Dia adalah yang berbuat dengan kebebasan mutlak, dan ada perbuatan apapun yang wajib baginya.




