Setiap Ramadhan hadir, Nahdlatul Ulama (NU) Jerman disibukkan dengan banyak kegiatan. Tidak terkecuali Ramadhan di tahun 2017 ini. Dengan asas manfaat dan kemaslahatan publik, Ramadan kali ini dimeriahkan oleh tiga kegiatan yang masing-masing terfokus pada peningkatan kekuatan spiritual, intelektual, dan tidak lupa pula sosial.
Pertama, bekerjasama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan beberapa forum pengajian di Berlin, termasuk diantaranya IWKZ Berlin, NU Jerman memperingati Nuzulul Quran pada hari Jumat, 9 Juni malam. Bertempat di aula KBRI, sekitar seratusan jamaah hadir. Jamaah dari luar kota Berlin, seperti Karlsruhe, Kassel, Hamburg, Essen, dan lainnya tak luput memenuhi saf.
Ustadz Ayang Utriza Yakin, yang kini berkhidmat di Belgia sebagai post-doc UC Louvain, diundang untuk memberikan pengayaan spiritual. Ia menekankan pesan-pesan utama al-Quran di zaman ini, di antaranya seruan untuk mengutamakan pendidikan dan cinta kasih. Dengan pemahaman yang baik atas tafsir al-Quran disertai dengan metode beragama yang toleran, sang ustadz mengajak kepada jamaah muslim di Jerman pada umumnya untuk menghindari fenomena “takfir” atau peng-kafir-an orang lain. Pengajian kemudian diakhiri dengan berbuka puasa bersama lalu dilanjutkan dengan salat wajib dan tarwih berjamaah. Tak hanya itu, jamaah diajarkan untuk berzikir dan bershalawat diiringi dengan salaman antar jamaah; sebuah kultur yang khas Islam Nusantara.
Kedua, NU Jerman mengadakan seminar umum mengenai tiga paradigma ukhuwah dalam tubuh NU, pada Sabtu, 10 Juni. Seminar ini bertemakan “Islam, Kebangsaan, dan Kemanusiaan: Simpul-simpul Nahdlatul Ulama dalam Ukhuwah”. Dihadiri oleh berbagai lembaga di antaranya IWKZ, KMKI, Forkom, dan masyarakat umum di Berlin, seminar ini menekankan pentingnya aspek ukhuwah keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Ustadz Ayang, yang juga sejarawan dan wakil ketua Lembaga Takmir Masjid NU, menjadi narasumber utama. Ia membagi dua fase penting dalam sejarah NU, yakni fase Islam dan kebangsaan antara 1930 dan 1966, lalu setelah itu fase Islam dan kemanusiaan hingga setidaknya 1998 saat Reformasi bergulir.
Dalam fase pertama, sejarah NU sekaligus merupakan sejarah Republik Indonesia. Islam dan nasionalisme tidak bisa dipisahkan dalam tubuh NU yang memberikan ruh kebangsaan. Kiprah para pendiri NU sejak masa awal berdiri, resolusi jihad melawan agresi militer Belanda, hingga peran tokoh NU dalam kepemimpinan selama masa Revolusi, Demokrasi Liberal, dan Demokrasi Terpimpin, diuraikan. Tak luput, ustadz Ayang juga membahas secara spesifik mengenai NU dan kementerian agama (kemenag) selama Demokrasi Terpimpin. Kehadiran kemenag dianggap sebagai „hadiah untuk NU“ dari pemerintah. Namun banyak sekali sejarah yang belum terungkap dan ini penting untuk diketahui lebih lanjut. Tiga penanya setidaknya mewarnai diskusi dalam seminar ini, satu perempuan dan dua lelaki, satu aktivis dan dua pemimpin lembaga Katolik dan Islam.
Ketiga, pada keesokan harinya, Minggu, 11 Juni, Indonesia für Deutschland (IfD) membuat acara NU di bulan suci ini paripurna. Dengan pencetus gagasan Hendra Arifin dan diketuai oleh Muhammad Mulahela serta Mierza Tontowi, IfD mengundang berbagai elemen masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi secara proaktif dalam kegiatan bakti sosial untuk membantu kelompok warga Jerman yang terpinggirkan yaitu tunawisma dan pengangguran. Anak-anak tak luput dilibatkan, dengan harapan mendidik mereka menjadi insan yang peka sosial. Seorang warga India bahkan ikut menyumbang untuk kegiatan ini.
Sesi pertama IfD kali ini dibagi menjadi lima kelompok yang masing-masing dikirim ke beberapa titik strategis di Berlin yang mengikuti jalur kereta U-Bahn atau S-Bahn. Baik orang tua, mahasiswa, dan anak-anak sangat antusias meramaikan kegiatan ini. Bingkisan makanan diberikan kepada para warga Berlin yang papa di sepanjang jalan, meski tak selalu mudah mendapatkan mereka di hari yang terik. Keadaan puasa tak membuat para penggerak kegiatan sosial ini putus asa. Mereka bahkan sangat bersemangat karena pesertanya tak hanya mengajarkan kekeluargaan tetapi juga inklusif meliputi berbagai masyarakat Indonesia tanpa pandang keyakinan. Dengan berhasilnya IfD kali ini, ke depan kegiatan serupa akan diselenggarakan kembali dengan strategi yang lebih baik.
Pada akhirnya, kegiatan terakhir itu sekaligus menjadi puncak dalam kegiatan NU Jerman kali ini. Bagi pengurus NU Jerman kali ini, tiga aktivitas tersebut mengeratkan hubungan tali spiritual, intelektual, dan sosial sekaligus. Inilah pesan inti yang ingin diteladankan oleh organisasi yang secara resmi baru berusia tujuh tahun ini.
Seminar umum mengenai tiga paradigma ukhuwah dalam tubuh NU yaitu Islam, kebangsaan, dan kemanusiaan, pada hari Sabtu 10 Juni lalu di AO Hotel Berlin Hauptbahnhof dihadiri sekitar 25 orang dari berbagai lembaga di antaranya IWKZ, KMKI, Forkom, PPI Berlin dan masyarakat umum di Berlin.
Ustadz Ayang, yang juga sejarawan dan wakil ketua Lembaga Takmir Masjid NU, menjadi narasumber utama. Ia membagi dua fase penting dalam sejarah NU, yakni fase Islam dan kebangsaan antara 1930 dan 1966, lalu setelah itu fase Islam dan kemanusiaan hingga setidaknya 1998 saat reformasi bergulir.
Dalam fase pertama, fase Islam dan kebangsaan, dipaparkan bagaimana sejarah NU sangat erat kaitannya dengan sejarah Republik Indonesia. Islam dan nasionalisme tidak bisa dipisahkan dalam tubuh NU yang pada gilirannya nanti memberikan ruh kebangsaan. Kiprah para pendiri NU sejak masa awal berdiri, resolusi jihad melawan agresi militer Belanda, hingga peran tokoh NU dalam kepemimpinan selama masa Revolusi, Demokrasi Liberal, dan Demokrasi Terpimpin, diuraikan. Tak luput, ustadz Ayang juga membahas secara spesifik mengenai NU dan kementerian agama (Kemenag) selama Demokrasi Terpimpin. Meskipun terdapat pandangan bahwa kehadiran Kemenag dianggap sebagai „hadiah untuk NU“ dari pemerintah, namun terbukti bahwa Kemenag menjalankan dengan baik peranannya sebagai penterjemah misi pemerintah untuk berjalan seiring dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Fase kedua, Islam dan kemanusiaan, berkembang pesat saat periode Orde Baru dimana Gus Dur menjadi simpul penting dengan membuka wawasan warga Nahdliyyin pada khususnya dan Indonesian pada umumnya melalui pendekatan-pendekatannya untuk pemecahan permasalahan-permasalahan bangsa melalui kacamata kemanusiaan. Diantaranya adalah bagaimana Gus Dur berusaha melindungi kelompok-kelompok minoritas dari berbagai macam latar belakang, bahkan dengan yang memiliki latar belakang kelam dalam sejarah Republik Indonesia.
Pada akhirnya, ustadz Ayang menyampaikan bahwa NU mengenal tiga jenis ukhuwah yang perlu diimplementasikan secara bersamaan: (1) Ukhuwah Islamiyah, (2) ukhuwah wathoniyah (kebangsaan), dan (3) ukhuwah basyariyah (kemanusiaan). Sejujurnya masih banyak sekali ruang-ruang sejarah hubungan NU dan Indonesia yang menarik untuk dibahas namun masih perlu diteliti lebih jauh lagi.
Tiga penanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat berbobot mewarnai diskusi dalam sesi tanya jawab; satu perempuan dan dua lelaki, satu aktivis sekaligus mahasiswa bidang hukum dan dua pemimpin lembaga keagamaan Katolik dan Islam. Terlihat di sesi ini bahwa seminar ini telah mencapai setidaknya satu tujuannya yaitu memberikan pemahaman dimana posisi NU terhadap NKRI kepada masyarakat umum melalui pernyataan Romo Paskalis K. Teli Lolan (KMKI). Beliau menyatakan kekagumannya bahwa ternyata sejak sebelum berdirinya NKRI, NU telah dan akan senantiasa berdiri sebagai perekat jalinan persaudaraan kebangsaan dan kemanusiaan sebagai implementasi dari ajaran Islam itu sendiri.