Jerman kerepotan. Negeri ini dihadang dua situasi: berkembangnya radikalisme atas nama Islam dan makin maraknya Islamofobia di antara masyarakatnya. Pemerintah Jerman dan segenap institusi terkait sedang melirik sejarah serta praktek toleransi dan koeksistensi antarsuku dan umat beragama di Indonesia untuk dijadikan contoh terbaik bagaimana deradikalisme dan pemberantasan Islamofobia diselenggarakan. Walaupun Indonesia sendiri saat ini sedang menghadapi sedikit polarisasi di tengah masyarakat sebagai akibat perbedaan sikap politik, Indonesia masih dipandang sebagai negara mayoritas muslim yang terbuka dan toleran.

Untuk pertama kalinya di Karlsruhe, kota di sebelah selatan Jerman, organisasi-organisasi sosial-politik Jerman bekerjasama untuk menghadapi situasi tersebut. Dengan menggandeng Konrad-Adenauer-Stiftung (KAS) dan Zentrum fuer Angewandte Kulturwissenschaften und Studium Generale (ZAK) am Karlsruher Institut fuer Technologie (KIT) Jerman, Nahdlatul Ulama (NU) Jerman, komunitas kajian Islam di kota Karlsruhe (IKMIK), serta PPI Karlsruhe mengadakan sebuah acara kuliah umum dengan mengangkat tema "Islam Indonesia: Perspektif dari Negara dengan Populasi Muslim Terbesar di Dunia". Pembicara utamanya ialah Dipl.-Region.-Wiss. Thomas Yoshimura, seorang ahli sosial politik Asia Tenggara dari KAS. Acara tersebut dilaksanakan pada hari Senin, 23 Oktober 2017, di kampus KIT.

Acara yang dihadiri lebih dari 100 orang ini dibuka pukul 18:15 CEST dengan sambutan dari Prof. Dr. Caroline Y. Robertson-von-Trotha, direktur ZAK, yang menekankan bahwa toleransi antarumat beragama merupakan faktor penting yang perlu dijaga. Setelah itu, Dr. Stefan Hofmann, komisioner KAS sekaligus kepala Forum Edukasi Politik untuk negara bagian Baden-Wuerttemberg, juga menyampaikan sambutan senada. Sedangkan sambutan dari NU Jerman disampaikan oleh Dr.-Ing. Hendro Wicaksono, Mustayar NU Jerman sekaligus koordinator riset dasar di Institute for Information Management in Engineering di KIT, yang juga mewakili IKMIK dan PPI Karlsruhe, memberikan pandangan singkat mengenai bentuk nyata toleransi yang telah ada sejak lama di Indonesia.

Thomas Yoshimura yang didaulat sebagai pembicara inti menguraikan Islam di Indonesia dari berbagai macam perspektif. Pertama, ia membentang sejarah Indonesia yang awalnya didominasi oleh penganut Hindu dan Buddha kemudian menjadi negara dengan mayoritas muslim di dunia. Kedua, Thomas menelisik sudut pandang politik sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, dan bahkan kondisi politik aktual di era Jokowi. Beliau menitikberatkan tentang tantangan terbesar yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia saat ini ialah penguatan demokrasi, pemberantasan korupsi dan pengentasan kemiskinan, perubahan iklim, serta penyusunan kekuatan ekonomi dan finansial berbasis “Global Maritime Axis”. Ia juga menekankan mengenai peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui peran keagamaan karena Indonesia memiliki masyarakat yang religius.

Thomas, yang pernah tinggal di Jakarta selama dua tahun, kemudian menyampaikan perspektif ketiga yaitu dasar negara Indonesia, Pancasila. Ia menjelaskan pengertian kelima sila tersebut kepada hadirin yang dipadati sebagian besar oleh warga Jerman, dengan fokus bahwa sila kedua hingga kelima merupakan bentuk pelaksanaan dari sila pertama. Lanjutnya, corak dasar negara Indonesia dapat terlihat jika dipengaruhi oleh faktor agama, meskipun Indonesia bukan negara agama. Thomas tak menutupi kekagumannya bahwa mengikat 300 etnis menjadi satu himpunan dibawah kalimat “Einheit in Vielfalt”, bahasa Jerman untuk “Bhinneka Tunggal Ika”, merupakan hal yang tidak mudah. Perspektif keempat memaparkan beberapa kasus terorisme di Indonesia yang ia simpulkan terjadi akibat kesalahan dalam mempelajari atau memahami Islam. Menurutnya, hal ini telah dan sedang terjadi di Indonesia, yang mengakibatkan munculnya beberapa kelompok yang tidak sejalan dengan dasar negara Indonesia. Pada ujungnya, ia lalu menjelaskan secara singkat mengenai dua organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, yang memiliki peran sangat besar dalam mewarnai corak perkembangan Islam di tanah air.

Hadirin pun penasaran. Di antara pertanyaan yang muncul pada sesi berikutnya, dua orang warga Jerman masing-masing bertanya mengenai hak ibadah yang dilakukan oleh pemeluknya di rumah sendiri dan pelaksanaan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” terhadap pemeluk Hindu dan Buddha. Edwin Hartarto, mahasiswa S2 Teknik Mesin di KIT, lalu bertanya mengenai perbedaan mendasar dari Islam Indonesia dengan Islam di negara-negara lainnya. Acara ditutup sekitar pukul 21:15 CEST dengan pentas budaya Tari Saman dari PPI Karlsruhe serta disempurnakan dengan acara ramah tamah dengan kuliner khas Indonesia dari IKMIK.

Suksesnya pelaksanaan acara tersebut dapat dinilai dari komentar sebagian hadirin berikut ini,

1.    Prof. Dr. Caroline Y. Robertson-von-Trotha, direktur Zentrum fuer Angewandte Kulturwissenschaften und Studium Generale (ZAK) di Karlsruhe Institute for Technology, Jerman: “Acara yang kerja sama ini telah mencapai tujuannya untuk mendobrak prasangka buruk terhadap Islam, khususnya yang menganggap toleransi tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Acara ini telah mencontohkan bagaimana Islam yang terbuka dan toleran dapat dijalankan di Indonesia. Selain itu, Indonesia, yang sering dijadikan teladan sebagai negara yang toleran antar berbagai kelompok etnis dan agama, akan bisa menjadi contoh bagi Eropa juga. Terima kasih atas wawasan yang diberikan dan keramahan yang kami rasakan selama acara berlangsung.”

2.    Dr. Stefan Hofmann, Komisaris Konrad-Adenauer-Stiftung (KAS) untuk Negara Bagian Baden-Wuerttemberg, Jerman: “Kerja sama ini sangat sukses dan berhasil mencapai tujuannya. Yang terpenting adalah kami dapat bertemu langsung dengan dan mendapatkan impresi langsung dari masyarakat muslim Indonesia di Jerman, walaupun Gus Mus kali ini belum bisa hadir.”

3.    Rüstü Aslandur, ketua Komunitas Muslim Berbahasa Jerman di Karlsruhe (DMK)  mewakili komunitas muslim di Karlsruhe, Jerman: "Rangkaian seminar yang direncanakan adalah inisiatif yang sangat bagus. Sayang sekali Gus Mus, sosok penting Islam Nusantara, belum bisa hadir karena kesehatannya. Saya mengapresiasi khusus keterlibatan organisasi dari berbagai kalangan untuk mengorganisasi sebuah acara tentang tema Islam, dari organisasi muslim, organisasi mahasiswa, sampai organisasi Jerman seperti KAS dan ZAK. Sangatlah bagus bahwa masyarakat Muslim Indonesia dapat datang langung ke acara, beramah-tamah, dan memberi kami wawasan tentang Islam Nusantara."

4.    Christoph Rapp, pejabat Kota Karlsruhe bidang Kebudayaan, sekaligus salah satu pengurus Taman Kerukunan Beragama untuk Karlsruhe, Jerman: "Acaranya sukses, masyarakat Karlsruhe jadi bisa mengenal Islam di Indonesia, menyaksikan sendiri bagaimana budaya Indonesia melalui pertunjukan tari Saman, dan menikmati hidangan kuliner Indonesia. Acaranya juga berhasil menjadi pembuka pintu kerjasama berbagai organisasi Jerman dan Indonesia. Kami siap berkerjasama untuk acara-acara selanjutnya pada masa yang akan datang."

Keterangan gambar: Dipl.-Region.-Wiss. Thomas Yoshimura, seorang ahli sosial politik Asia Tenggara dari Konrad-Adenauer-Stiftung (KAS), saat memberikan paparan mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dalam sebuah kuliah umum bertajuk "Islam Indonesia: Perspektif dari Negara dengan Populasi Muslim Terbesar di Dunia". Kuliah ini dilaksanakan di Karlsruher Institut fuer Technologie (KIT), Jerman, hari Senin, 23 Oktober 2017 lalu.